JurnalSatu.id – SRAGEN ,– Setelah 103 tahun berdiri, untuk kali pertama Hari Jadi Desa Karangpelem dirayakan. Hari Jadi desa yang terletak di bagian selatan Kecamatan Kedawung itu tidak serta-merta diperingati, melainkan melalui proses penelusuran sejarah yang panjang sejak 2023, dan masih akan terus berlangsung hingga 2025. Pegiat Budaya dari Palapa Mendira Harja Sragen, Tri Sukowati menuturkan, kelahiran Desa Karangpelem ditetapkan pada (9/9/1921) berdasarkan peta zaman Belanda tahun 1921, yang memuat nama Desa Karangpelem di dalamnya.
“Pertimbangan juga didasarkan pada peta persil Desa Karangpelem tahun 1935. Namun berdasarkan Musyawarah Desa bersama sesepuh, Ketua RT, dan perangkat desa, disepakati tahun kelahiran Desa Karangpelem pada 1921,” terangnya.
Sedangkan untuk waktunya, Tri menjelaskan, tanggal dan bulan didasarkan pada weton desa yaitu Jumat Pon. Hari Jumat Pon pada 1921 yang bertepatan dengan bulan sakral bagi masyarakat Jawa, yaitu Bulan Suro, jatuh pada 9 September. “Hari kelahiran Desa Karangpelem disimbolkan dalam runtutan jumlah personel Kirab Budaya Memetri Umbul Ngepok. Pemanggul tiga gunungan hasil bumi berjumlah dua puluh satu orang, diikuti sembilan orang Kader Posyandu dan para perawan membawa klenting, serta sembilan orang anggota Badan Permusyawaratan Desa,” jelas Tri.
Ia melanjutkan, prosesi kirab dimulai dari dua titik lokasi, oleh dua kelompok yang berbeda. Kirab Pangrombyong yang dipimpin Sekretaris Desa Karangpelem diikuti oleh Duta Desa Wisata Alvin dan Sabrina, Drum Band Sekolah Dasar Negeri (SDN) 1 Karangpelem, Pasukan Bendera Merah Putih SDN 2 dan SDN 3 Karangpelem, Pasukan Penari SD Islam Terpadu (IT) Karangpelem, Prajurit Telik Sandi Untup-untup dari Karangtaruna, serta rombongan perangkat desa dan organisasi lembaga desa.
“Untup-untup adalah tarian yang menggunakan kentongan sebagai alat musik, dengan satu orang menyanyikan lagu nasional dan daerah. Kesenian asli Desa Karangpelem ini sudah berkembang sejak tahun 1950-an hingga 1970-an. Tarian ini merupakan fragmen cerita perang dalam wayang orang antara Janaka dengan angka murka berwujud raksasa atau buto,” tuturnya.
Sedangkan Kirab Sewu Tumpeng dan Gunungan yang berangkat dari Punden Tunggon (Eyang Sedo) dipimpin oleh Kepala Desa (Kades) Karangpelem. Setelah berziarah, barisan yang terdiri dari Bayan III Purnawan Wiwoho sebagai Manggolo Yudo, pemanggul gunungan, pembawa klenting dan kendi, serta pemikul tumpengan berjumlah 26 buah dari masing-masing RT, berjalan untuk menuju pusat perayaan di Umbul Ngepok Tunggon yang menjadi ikon Desa Karangpelem.
Klenting yang turut diarak kemudian diserahkan kepada sembilan penari, yang menampilkan Sendra Tari Prosesi Pengambilan Air Suci di dalam kolam, air suci penghidupan, kemudian diserahkan oleh Kades Suwarno kepada sesepuh Desa Karangpelem.
“Kebudayaan yang ditampilkan hari ini merupakan hasil dari penelisikan sejarah kami ke Keraton Kasunanan Surakarta, dengan pendampingan dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sragen. Seperti Tari Wireng ini, kami mencari referensi ke Pura Mangkunegaran,” ujar Tri.
Penggalian sejarah ini tidak hanya melahirkan hari jadi dan memunculkan kembali kebudayaan Desa Karangpelem, namun juga menjadi awal ditemukannya sebuah peninggalan dari tahun 1800-an berupa batu Yoni. “Kami masih berusaha mencari yang lain, karena menurut warga ada banyak Yoni di Desa Karangpelem. Ada indikasi prasasti juga, tapi kami masih menggali lebih lanjut di beberapa titik lokasi,” urainya.
Ditambahkan, penemuan Desa Karangpelem yang sebelumnya bernama Desa Tunggon disebutkan dalam Babad Giyanti, di mana Pangeran Mangkubumi pernah menempuh perjalanan melewati daerah bernama Tunggon yang terletak di kaki Gunung Lawu.
Perjalanan Pangeran Mangkubumi tersebut dalam rangka meminta restu mertuanya, Ki Ageng Derpoyudo, yang memiliki anak dari istri yang lain bernama Eyang Sedo, leluhur masyarakat Desa Karangpelem. Upaya keras dari Pemerintah Desa Karangpelem dan para pegiat budaya tersebut juga mendapatkan perhatian dari Camat Kedawung, Endang Widayati, yang menyebut Desa Karangpelem sebagai satu-satunya desa di Kecamatan Kedawung, yang berhasil mengadakan penelusuran sejarah untuk memutuskan hari jadi desa.
Kepala Dinas Pemuda, Olahraga, dan Pariwisata Kabupaten Sragen (Disporapar), Joko Hendang Murdono, mengapresiasi Pemdes Karangpelem, pegiat budaya, dan Keraton Surakarta, yang secara maksimal telah melakukan penelusuran sejarah dari segi kajian teori dan ketokohan. “Sejarah Desa Karangpelem tidak lepas dari berdirinya Kabupaten Sragen. Kemungkinan ketika Kabupaten Sragen terbentuk, sudah ada kehidupan di wilayah ini sebelum dinamai Desa Karangpelem,” ungkapnya.
Puncak Hari Jadi Desa Karangpelem ke-103 digelar Pagelaran Wayang Kulit semalam suntuk di Lapangan Kridho Sono dengan Lakon Bagong Bangun Deso oleh Ki Dalang Dwijo Kangko.
Bupati Sragen, Kusdinar Untung Yuni Sukowati, yang hadir dalam kesempatan tersebut mengatakan, dengan adanya Umbul Ngepok di Desa Karangpelem diharapkan akan meningkatkan perekonomian desa. “Saya berharap masing-masing desa memiliki khasnya sendiri-sendiri, one village one product seperti Desa Karangpelem yang memiliki kolam renang dengan air alami, Umbul Ngepok,” ucapnya.
Rangkaian acara hari jadi telah dimulai malam sebelumnya (8/9/2024) dengan Haul Leluhur Desa Karangpelem yang dipimpin oleh para Kiai dan Ustaz. Keesokan harinya, digelar Karnaval Kirab Budaya Memeti Umbul Ngepok diikuti oleh seluruh masyarakat dan Perangkat Desa Karangpelem.
Penulis : Rindah/Yuli