PEKALONGAN – JurnalSatu.Id, Dalam rangka pelestarian seni dan budaya, Desa Karanganyar Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan mengusulkan seni tradisional Gendu’an Almuqodam yang merupakan warisan budaya tak benda yang bersejarah, supaya diakui Dunia dan terdaftar di Unesco kepada Kementrian Kebudayaan Republik Indonesia dari Jakarta.
Seni dan budaya Gendu’an atau Jawan adalah warisan budaya leluhur dari jaman Walisongo ini hanya berada di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah. Alat kesenian tradisional yang terbuat dari perpaduan kayu kelapa dengan kulit Sapi, seperti Kendang dan didominasi berbagai ukuran, ada yang besar, juga ada yang paling kecil.
Warisan seni dan budaya Gendu’an ini juga sebagai kesenian tradisional turun-temurun yang sering kali diadakan pada acara kegiatan Sholawatan atau Manaqiban dengan diiringi seni Gendu’an, dan peserta atau pemainnya mayoritas para orang-orang tua (Sepuh). Dulu, Para sesepuhlah yang mulai memainkan seni musik Gendu’an diiringi lantunan Manaqib atau Sholawatan penuh khusuk dan hikmat.

K.P. Sulistyo TirtoKusumo, Tim ahli warisan budaya dari Kementrian Kebudayaan Jakarta yang meneliti dan memverifikasi usulan dari warisan budaya Propinsi, Kabupaten dan Kota. Kesenian Gendu’an ini sudah ada sejak tahun 1900, di Desa Karanganyar dipelopori seorang tokoh yaitu Mbah Harjo Syafi’i, kemudian berkembang sampai tahun 1973-1983, terus di tahun 2023 muncul lagi. Apakah masih sama seperti dulu, karena syarat verifikasi warisan budaya minimal 50 tahun, setelah diteliti dan diverifikasi ternyata masih sama seperti tahun 1900, artinya kelangsungan hidup dari kesenian ini terjamin keasliannya.
“Jadi yang namanya warisan itu yang asli, maka yang kami nilai keaslian dari kesenian ini dari dulu sampai sekarang, adapun untuk pengembangan itu bukan wilayah kami, wilayah kami adalah pelestarian dari kesenian pertama kali muncul sampai sekarang, yang kurang lebih 50 tahun, kalau pengembangan itu namanya konvensi tahun 2002-2005 itu membolehkan pengembangan, tapi kami masih mengikuti dikonvensi UNESCO tahun 2003 yang mementingkan konservasi dan presepvasi, lebih berat dari pada pengembangan, kami lebih memilih keasliannya untuk menginsipirasi siapapun juga, itu bisa dijadikan bermacam-macam, jadi kami mengurusi yang asli”, ungkap Sulistyo.
Hasan Basri selaku Kepala Desa Karanganyar menambahkan,”Alhamdulillah, Seni dan budaya Gendu’an masih eksis di Desa Karanganyar, kebetulan Gendu’an di sini punya ciri khas tersendiri, tidak seperti di tempat yang lain, di sini ada awalan, tarikan, Sika, marji. Marji itu kembali ke awal, kalau di kota biasanya monoton, terus begitu-bagitu saja, kalau di sini ada nada tinggi, kemudian rendah”, ujarnya, pada Selasa malam (17/6/2025) di Balai Desa Karanganyar, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan.
Lebih lanjut beliau menyampaikan,”Dulu memang belum ada hiburan, jadi habis kerja bayaran pas malam Jum’at, orang-orang sini main Gendu’an, jadi orang tua kami meninggalkan budaya yang positif, dulu Mbah Harjo itu merintisnya dari tahun 1900. Beliau di sini sebagai pembaharu yang membawa budaya-budaya seperti Sewelasan atau membaca Manaqib, Dalailan, dulu daerah Tirto banyak seni dan budaya, namun hingga saat ini yang masih eksis di Karanganyar ini, mungkin pyurnya di sini, untuk Gendu’an sendiri apabila ada undangan seperti ini pesertanya banyak, sampai 25 orang bisa lebih, mereka dengan hikmat melantunkan Sholawat seperti yang dilakukan Kanjeng Nabi Muhammad SAW”, pungkasnya. (Kf)